Sekilas tentang UU ormas part 2

Bahwa keputusan pembubaran ormas dapat menjadi objek PTUN hal itu merupakan upaya hukum lain yang tidak bersifat alternatif terhadap izin dari peradilan sebelum pembubaran itu dilakukan. Di negara demokrasi mana pun, selalu ada undang-undang yang kontroversial. Itu hal yang biasa. Sepanjang pemerintah masih membuka peluang dialog dan kemungkinan revisi terhadap undang-undang yang dimaksud, tidak ada alasan menuduh pemerintah represif dan otoriter. Apalagi hakikatnya yang dilakukan pemerintah hanyalah usulan (dengan Perppu), yang mengesahkan Perppu menjadi UU adalah DPR, bukan pemerintah. Tugas pemerintah, sesuai konstitusi, hanyalah melaksanakan apa yang sudah disahkan DPR. Jika dilihat dari sifat dan fungsinya, UU Ormas mirip dengan UU tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Bedanya, yang pertama objek dan subjeknya berupa institusi (ormas), sementara yang kedua bisa institusi, bisa juga individu. Kesamaan antara keduanya terletak pada ancaman pidananya, yakni pada individu. Fungsi utama UU dalam kehidupan sosial yang paling pokok, seperti obat, yakni untuk mencegah dan mengobati. Mencegah artinya untuk melindungi masyarakat dari kemungkinan penyakit yang bisa menyerang kapan saja. Dan mengobati artinya untuk menyembuhkan siapa pun yang sudah (telanjur) sakit. Dengan memaknai fungsi utama UU seperti ini, seyogianya kita bisa melihat keberadaan UU Ormas secara positif. Persoalan akan menjadi rumit pada saat yang sakit tidak merasa dirinya sakit. Obat tidak dianggap menyembuhkan malah dilihat sebagai ancaman.
Untuk tidak terjebak pada kerumitan itu, marilah kita melihat UU dalam perspektif negara demokrasi. Di negara demokrasi mana pun, pada setiap individu melekat hak dan kewajiban. Hak dan kewajiban ibarat dua sisi mata uang yang tak bisa dipisahkan. Setiap individu punya kebebasan, punya hak untuk berekspresi. Tapi dalam mengimplementasikan kebebasan dan hak ekpresinya itu jangan sampai membuat kebebasan dan hak pihak lain terlanggar. Karena setiap individu punya hak untuk merasa aman, bebas dari ancaman pihak lain, maka antara hak kebebasan individu dan hak merasa aman dalam praktiknya sering berbenturan. Karena itu, harus ada keseimbangan antara hak dan kewajiban. Tanpa adanya keseimbangan, ekspresi kebebasan dan hak seseorang lebih sering mengganggu keamanan dan kenyamanan orang lain. Sebagai ilustrasi, setiap warga negara memiliki hak untuk mengekspresikan keluhan dan kekesalan. Tapi pada saat akspresi itu disampaikan membuat pihak lain merasa tersinggung atau bahkan terhina, maka oleh yang merasa tersinggung dan terhina, pelakunya bisa dijerat dengan UU ITE. Contohnya sudah banyak. Lantas bagaimana jika hal yang sama dilakukan oleh ormas? Pelakunya akan dijerat dengan UU Ormas. Jika semua pihak sudah bisa menerima kritik (dari yang terlunak hingga yang paling keras) secara lapang dada; jika semua aktivis dan para kritikus mampu mengemas kritik-kritik secara elegan tanpa sumpah serapah, sangat mungkin, pasal-pasal kontroversial itu hanya akan menjadi rambu-rambu yang tidak mengganggu atau mengancam siapa pun.


Comments

Popular posts from this blog

Sekilas tentang UU ormas