Sekilas tentang UU ormas

Dewan Perwakilan Rakyat telah mengesahkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan ( Perppu Ormas) menjadi undang-undang melalui rapat paripurna di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta. Sejak diumumkan oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, banyak pihak mendukung penerbitan Perppu Ormas. Namun. tidak sedikit pula kelompok yang tidak setuju dengan adanya kebijakan tersebut. Kelompok masyarakat yang pro menilai Perppu Ormas memberikan kekuatan hukum bagi pemerintah untuk menindak ormas-ormas radikal yang bertentangan dengan ideologi Pancasila. Sementara, kelompok yang kontra memandang pemerintah dikhawatirkan bertindak sewenang-wenang dan represif dengan berlandaskan Perppu Ormas. UU Ormas memberikan kewenangan pembubaran ormas setelah adanya peringatan tertulis dan penghentian kegiatan. Yang mengalami sedikit perubahan mengenai beberapa pasal saja tentang tata cara penjatuhan sanksi, di dalam sistem politik dan ketatanegaraan saat ini, kontrol parlemen terhadap pemerintah sangat kuat. Di sisi lain, pemerintah juga melihat adanya kontrol yang kuat dari masyarakat sipil dan media massa. UU Ormas yang baru berpotensi mengancam masyarakat sipil yang kritis terhadap pemerintah. Tidak hanya bagi ormas-ormas yang dianggap ‘fundamentalis’ atau bertentangan dengan ideologi Pancasila, legislasi tersebut berpotensi menjadi alat represi pemerintah untuk membungkam gerakan masyarakat sipil di Indonesia, hal tersebut merupakan bentuk kesewenangan-wenangan terhadap kebebasan berserikat dan berkumpul yang dilindungi oleh Konstitusi dan hukum internasional. Hal ini menjadi ancaman baru bagi gerakan masyarakat sipil yang saat ini sedang aktif mengkritik pemerintah dalam berbagai bidang termasuk penegakan HAM. Jangan sampai produk legislasi ini digunakan semena-mena untuk membubarkan dan mempidana mereka yang kritis terhadap pemerintah.
Pengesahan Perppu Ormas menjadi undang-undang diwarnai unjuk rasa dari berbagai organisasi di depan gedung DPR/MPR Senayan. Mereka menilai pengesahan tersebut pertanda buruk bagi kehidupan demokrasi, kebebasan berkumpul dan berpendapat serta berekspresi. Pemerintah juga dinilai nantinya akan secara subjektif dapat membubarkan ormas dengan dalih tidak sesuai Pancasila. Yang dimaksud dengan hal tersebut mungkin adalah pembubaran HTI, seperti yang diketahui pemerintah membubarkan HTI pada 19 Juli 2017 lalu, dengan mencabut status badan hukum organisasi kemasyarakatan tersebut. HTI dinilai tidak menjalankan asas, ciri dan sifat ormas yang termaktub dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (UU Ormas), yaitu "tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945". HTI disebut mendakwahkan doktrin negara berbasis kekhilafahan kepada para pengikutnya. Selain itu, HTI dianggap berpotensi menimbulkan benturan di masyarakat yang dapat mengancam keamanan dan ketertiban masyarakat serta membahayakan NKRI. Menariknya, pemerintah mencabut status badan hukum HTI dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 2 tahun 2017, yang mengubah sejumlah ketentuan pada UU Ormas. Salah satunya, yaitu menghapus pasal di undang-undang tersebut, yang menyebut bahwa "pencabutan status badan hukum dijatuhkan setelah adanya putusan pengadilan". Penghapusan mekanisme peradilan sebelum pemerintah memiliki wewenang membubarkan ormas, bertentangan dengan dasar pemikiran bahwa peradilan harus memiliki tameng bagi keputusan pemerintah yang berpotensi melanggar HAM.











Comments